20 Mei 2020


Pulau Sumbawa:


Pulau yang diapit oleh Pulau Lombok di sebelah barat dan Pulau Komodo di sebelah timur ini memang tak perna gagal untuk membuat orang teropsesi agar bisa kesini lagi.

Pulau yang selalu menyambut hangat tiap kali saya datang berkunjung, dan memberikan banyak bekal cerita ketika beranjak kemudian.

Pulau yang ketika musim kemarau akan menampilkan wajah eksotisnya ala Afrika dengan pemandangan padang savananya.

Perkebunan/persawahan yang tadinya ditumbuhi padi dan jagung menjelma menjadi padang ilalang. Kontur daratan yang dikelilingi oleh pengunungan dengan pohon kerdil berdaun kecil yang dengan jarang tumbuh di atasnya, dan sesekali diterpa angin segar dari arah laut yang tenang dan biru, serta banyaknya bebatuan kecil yang menyembul dari dalam tanah seolah penuh antusias menyambut para penikmat alam yang sedang datang berkunjung.


Garis pantai berpasir putih dan halus yang mengelilingi perbukitan disepanjang perjalanan juga tak mau kalah menggoda tuk dijadikan tempat melepas lelah sembari menunggu terbenamnya matahari.

Suatu hari nanti, ketika bumi berhasil menyampaikan pesannya agar manusia tetap tinggal sejenak di rumahnya sembari mengintropeksi diri akan hasil dari tindakannya selama ini terhadapnya, dan ketika keadaan ini  sudah berubah menjadi semakin baik. Kehidupan sosial kembali normal sehingga tak ada lagi istilah Social Distance, PSBB, dan hastag stayhome tidak menjadi tranding topik lagi. maka ijinkan aku untuk berkunjung dan menyapamu sekali lagi :)

#RivaldoOkono

7 Mei 2019




Tanpa perencanaan dan persiapan, bahkan sebelumnya tidak perna terbayangkan untuk bisa (atau lebih tepatnya mampu) untuk melakukan solo traveling. Tapi karena dorongan akan kegalauan Tugas Akhir pada saat itu, maka di sore hari yang penuh dengan kebimbangan, sayapun memutuskan untuk memesan tiket di salah satu agen travel Yogyakarta dengan tujuan ke Pekalongan pada keesokan harinya.

Singkat cerita, tiket sudah ditangan. Dan mari pulang tuk merenungkan keraguan akan perjalanan ini.hehehe

Keesokan harinya, tepat pukul 05.30, saya dihubungi oleh agen travel untuk memastikan lokasi penjembutan pada pukul 07.00.

Perjalanan Yogyakarta – Pekalongan ditempu sekitar 5 jam perjalanan. Beruntung saya tipe orang yang cukup tahan banting untuk melakukan perjalanan baik darat, laut, ataupun udara dengan waktu tempu berapapun lamanya pikiran saya akan tetap sehat ketika sampai tujuan. Jadi, untuk waktu tempu 5 jam bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan untuk saat itu.

Saya sendiri nekat ke Pekalongan tanpa perencanaan yang jelas karena terlanjur terjebak keadaan, dan memang harus ke salah satu lokasi referensi penelitian saya. Khususnya terkait tugas akhir pada waktu itu. Lokasi tujuan adalah Pekalongan Mangrove Park, yaitu tempat pembibitan dan pusat informasi hutan mangrove.

Rute perjalanan Yogyakarta – Pekalongan akan melalui Megelang – Semarang – Pekalongan, dengan kondisi lalu lintas yang cukup padat pada waktu itu. Sehingga tidak mengherankan ketika rombongan bus sampai di sana waktu sudah menunjukan sekitar 01.25.

“Jadinya mau diturunkan dimana mas?”. Tanya pak Supir, yang sebelumnya juga sudah asik mengobrol dengan saya di sepanjang perjalanan. Dan jujur saja, karena ini adalah pengalaman pertama saya melakukan solo traveling saya benar-benar jauh dari kata persiapan, yang berakhir dengan memberikan deskripsi penginapan yang akan saya tuju. (waktu itu saya juga lupa nama penginapannya #hikss). Ditambah lagi, handphone saya kehabisan batre di saat yang bersamaan #KegoblokkanYangHakiki -_-

Singkat cerita, sang supir mengetahui persis lokasi penginapan yang saya deskripsikan sebelumnya, karena memang beliau adalah orang asli Pekalongan.

Lokasi penginapan berada di sekitaran pasar tradisional yang tidak jauh dari Pekalongan Mangrove Park. Dan kekhawatiran saya mulai memuncak ketika sampai di sana, dan salah satu staf penginapan menginformasikan bahwa tepatnya keesokan harinya penginapan akan segera ditutup sementara karena alasan satu dan lain hal. #MendadakPanik

Ketika saya sedang kebingungan memikirkan alternatif tempat menginapan, tiba-tiba saya dihampiri oleh pak supir, dan dengan santun beliau menawarkan untuk menginap di rumah mertuanya yang juga tidak jauh dari situ. Antara terharu bercampur was-was karena walaupun sudah cukup akrab mengobrol di sepanjang perjalanan tadi, tapi bagaimanapun, beliau tetap masih tergolong  orang asing untuk saya, yang mana baru saya kenal sekitar 6 jam yang lalu.

Karena bingung dan putus asa, sayapun meyakinkan diri untuk menerima tawaran beliau. Pertimbangan lain, karena kalau penilaian saya secara pribadi berdasarkan obrolan disepanjang perjalanan tadi, beliau adalah orang yang ramah dan terbuka apa adanya, serta punya selera humor yang cukup menurut saya.heheh

Dan sebelum menuju rumah mertuanya, sayapun diajak keliling sekitaran kota Pekalongan untuk mengantar beberapa titipan para pelangan, yang terlihat sangat akrab dengan beliau.

Singkat cerita, setelah mampir untuk makan  malam di salah satu warung pinggir jalan di pusat Kota Pekalongan, tepatnya pukul 18.30 waktu setempat, sayapun di antarkan ke rumah mertua beliau dan diterima dengan sangat baik di rumahnya. Dan berhubung waktu itu sudah sekitar pukul 20.30 waktu setempat, maka saya langsung dipersilahkan beristirahat tanpa mengobrol panjang lebar dengan sang pemilik rumah.

Pekalongan Mangrove Park

Sekitar pukul 07.00 saya bangun dan mempersiapkan diri menuju ke Pekalongan Mangrove Park. Perjalanan kesana saya menggunakan ojek pangkalan yang letaknya tidak jauh dari situ. Waktu tempu menuju ke Pekalongan Mangrove Park sekitar 15 menit perjalanan.

Sesampainya disana, sekitar pukul 09.00. Hanya terdapat sekitar 3 orang pengunjung. Dengan kondisi kantor pengelola yang masih kosong, entah saya yang terlalu pagi datangnya atau apapun itu alasannya, yang jelas sampai saya selesai melakukan pengumpulan data sekitar 17.10, masih tak terlihat tambahan staf lainnya.

Sekedar informasi, Pekalongan Mangrove Park merupakan salah satu kawasan restorasi dan pengembangan hutan mangrove yang berlokasi di Wilayah pantai utara Pekalongan. Yang diresmikan oleh Menteri Kehutanan RI pada 17 Desember 2013 dan kemudian terus dikembangkan menjadi tujuan wisata menarik di Pekalongan.
Gapura pintu masuk kawasan Pekalongan Mangrove Park
Jalan menuju lokasi taman mangrove terbilang cukup baik, dengan paving blok rapih. Selain itu tempat parkir yang disediakan juga cukup memadai, baik untuk roda dua maupun empat dengan biaya parkir Rp. 3.000 untuk roda dua, dan Rp. 5.000 untuk roda empat. Setalah itu, silahkan nikmati suasana hamparan bakau sepuasnya.
Di samping kanan gapura saat memasuki kawasan terdapat loket masuk, dengan harga tiket pada waktu itu hanya Rp. 3.000/orang. 
Suasana ketika memasuki kawasan hutan bakau
Selain itu, pemandangan pertama yang terlihat ketika memasuki kawasan Pekalongan Mangrove Park adalah petakan hutan mangrove yang terlihat sengaja ditata rapi, dan sebagian area dibiarkan kosong untuk kepentingan wisata transpotasi perahu karet.

Tracking Area

Sekitar 40 meter dari gapura kawasan hutan mangrove, tepat di samping kanan bangunan utama kantor pengelola taman mangrove, kita akan diarahkan untuk menapaki tracking area kawasan hutan mangrove, yang memang diarahkan menuju bagian tengah kawasan. Adapun sejumlah peneduh yang dibangun di sepanjang tracking area dapat digunakan sebagai tempat beristirahat untuk para pengunjung sambil menikmati suasana sekitar.
Suasana tracking area Pekalongan Mengrove Park
Konsep pengaturan tata letak peneduh di area tracking area sendiri lebih di fokuskan pada titik awal tracking area, setelahnya dibiarkan hanya khusus untuk jalur tracking, sehingga pengujung lebih leluasa melihat sekeliling tanpa terhalang bangunan peneduh.

Untuk beberapa peneduh di tracking area juga di buatkan kandang, yang pada saat saya kesana masih dibiarkan kosong. Dan berdasarkan informasi salah satu staf, nantinya kandang tersebut akan di isi dengan sejenis burung yg memang banyak hidup di sekitaran hutan mangrove.

Selain itu, yang menarik perhatian saya selanjutnya adalah, di bagian sisi kanan hutan mangrove sekitar 100 meteran lebih terdapat bangunan dengan bentuk memanjang dengan cerobong asap ditengahnya, yang merupakan fasilitas untuk melakukan pembakaran mayat atau krematorium, jadi untuk yang suka berimajinasi yang bukan-bukan, cobalah untuk tetap fokus ke pemandangan hutan mangrovenya saja. heheh
Bangunan krematorium

Wisata Perahu Karet Bermotor

Pemandangan menarik lainya akan dapat dinikmati saat perjalanan mengelilingi hutan mangrove dengan transportasi yang disediakan berupa perahu karet. Harga yang ditawarkan cukup wajar (waktu itu sekitar Rp. 10.000/orang), dan kabar baiknya lagi, perahu akan tetap berangkat walau hanya saya satu-satunya penumpang di dalamnya.
Perahu karet yang dipakai untuk mengelilingi kawasan
Waktu untuk berkeliling  sebagian kawasan hutan mangrove sekitar 20 menit. Dimana dalam perjalanan kita akan melewati lorong-lorong yang terlihat dirancang khusus untuk dilewati dengan perahu berukuran sedang, dan di desain dengan konsep satu arah.   

Suasana yang tenang dan sejuk karena rimbunnya hutang mengrove adalah kesan pertama yang di dapat. Adapun saya yang tak jarang dipaksa untuk menunduk beberapa kali karena banyaknya tangkai pohon yang memanjang mengarah ke dalam lorong. Cukup memberikan suasana meruang yang unik menurut saya.
Jalur keliling dengan perahu karet sendiri di arahkan menuju ke area depan Pekalongan Mangrove Park, baru kemudian berputar balik lagi. Selain pemandangan hutan mangrove, terdapat juga bekas beberapa unit bangunan yang sudah tergenang akibat abrasi air laut. 
Bekas bangunan pengelola kawasan Pekalongan Mangrove Park
Kesan menarik  lainnya adalah, disepanjang perjalanan kita akan dimanjakan dengan suasana lorong hutan mengrove yang oleh pengelola kawasan disebut sebagai lorong cinta (jadi kalau datangnya sendiri ya jadi lorong J*mblo donggg. hahah..).

Adapun suasana lorong terkesan tenang dan sempit. Sehingga semakin dalam perahu karetnya, maka  akan semakin diperlambat kecepatannya. 
Suasana lorong hutan mangrove
Selain itu, adanya cahaya matahari yang menembus rimbunnya pepohonan mangrove mampu menciptakan pencahayaan alami di atas permukaan air yang tenang. 

Lokasi Tepat Untuk Menikmati Matahari Terbenam

Nah, berhubung saya di sini sampai menjelang sore, maka tanpa sadar ketika sedang asik menganalisi lingkungan sekitar terkait tema penelitian saya. Sejenak fokus saya teralihkan ketika melihat cahaya kuning keemasan di ujung barat kawasan. Sunset! Ya, suasananya cukup membuat saya  terpukau.
Suasana menjelang matahari terbenam
Selain aktivitas di atas, ada beberapa kegiatan lain yang dapat dilakukan, yaitu melihat galeri ekosistem hutan mangrove dan kolam sentuh (kolam pembibitan dan penanaman mangrove), serta terdapat fasilitas gardu pandang, yang sayang sekali ketika saya sampai di sana sedang  dalam tahap renovasi sehingga tidak diperkenankan untuk naik ke atas.

Gardu pandang di dekat bangunan utama pengelola

Dan satu lagi, bagi yang suka memancing, disini disediakan juga area pemancingan ikan, jadi bagi yang tidak terlalu antusias mengelilingi hamparan hutan bakau dan punya hobi memancing, maka bisa menghabiskan waktu disini.


Saran saya, bagi anda yang berencana main kesini dan hanya fokus untuk menikmati pemandangan hutan mangrove. Baik bersama para sahabat, pacar ataupun keluarga, akan lebih baik untuk berkunjung di atas jam 2 siang, karena selain suasanya yang tidak terlalu panas, pemandangan matahari terbenamnya juga cukup memukau.

3 Mei 2019




Pemandangan sebelum pendaratan di Bandara Pitu, Morotai
Deretan rumah warga dan hamparan hijaunya pepohonan menyambut kedatangan kami dari atas ketinggian pesawat menuju landasan Bandara Pitu. Perjalanan kali ini menuju Kabupaten Pulau Morotai, yang sebelumnya transit di Bandara Sultan Babulla Ternate. Karena alasan kondisi infrastruktur bandara tujuan masih sangat terbatas dan untuk memaksimalkan jumlah penumpang pesawat, maka kami diharuskan untuk mengganti pesawat jenis ATR yang ukuranya lebih kecil.
Perjalanan dari Ternate ke Morotai sendiri ditempu sekitar satu jam perjalanan.
Kondisi Bandara Pitu Morotai setelah landing
Kondisi bandara terlihat sepi, karena memang hanya melayani satu kali penerbangan dalam satu hari. Tanpa berpikir panjang, kamipun segera memesan taksi bandara sebelum semua supirnya kembali ke pangkalannya masing-masing, yang berpusat di Kota Daruba. 

Keberadaan taksi bandara pada saat itu hanya sekitar lima sampai tujuh mobil, yang dengan antusias menunggu keluarnya para penumpang dari ruang kedatangan, untuk kemudian menawarkan layanannya masing-masing.
Kondisi Bandara Pitu Morotai setelah landing
"Hotel Pasifik In ya pak", jawab saya ketika ditanyai bapak supir tentang kemana tujuan kami selanjutnya (harga taksi Rp. 50.000 /orang). Lokasi hotelnya sendiri berada di Daruba, yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Pulau Morotai.

Perjalanan dari Bandara Pitu ke hotel ditempu sekitar 30 menit. Adapun pemandangan sepanjang jalan yang dipenuhi oleh hijaunya pepohonan dan rerumputan yang bebas tumbuh liar disepanjang jalan, belum lagi kondisi jalan yang masih jarang ditemui rumah warga menambah sepi suasana jalan.
Suasana jalan dari Bandara Pitu menuju Kota Daruba
Hotel Pasifik In merupakan salah satu hotel favorit di kawasan Daruba. Yang kalau menurut saya, dari facade bangunan terlihat lebih mirip rumah warga jika dibanding dengan bentuk hotel pada umumnya. Ini dikarenakan ukuran bangunan yang tidak terlalu besar dan hanya berlantai satu. Selain itu, tidak ada papan nama atau tanda pengenal hotel yang terpasang  di depan bangunan.
Jadi kalau secara golongan fungsi bangunan, Pasifik In masuk kategori penginapan dari pada hotel, tapi karena masyarakat sekitar sudah melabeli sebagai hotel, maka ketika mengatakan tujuan ke para supir taksi ataupun bentor, lebih enak untuk menyebutnya sebagai hotel, biar sama-sama nggak bingung. Heheh..

Sebagai informasi, harga perkamar pada waktu itu sekitar Rp. 250.000/malam, yang mana satu kamar bisa ditempati oleh dua orang. Dengan ukuran kamar 5 x 5 meter.
Selain itu, disini tidak tersedia fasilitas alat mandi sepeti handuk dan beberapa perlengkapan mandi lainnya. Jadi, silahkan dipersiapkan sebelumnya jika ingin mengginap di sini. 

Adapaun pilihan hotel lain yang tidak jauh dari situ. Hotel Ria namanya, yang lokasinya tidak jauh dari kantor bupati Morotai dengan harga pada waktu itu sekitar Rp. 450.000 /malam, yang tentu lebih lengkap terkait ketersediaan perlengkapan layanan kamarnya.


“Kemana perginya semua orang?”. Adalah pertanyaan pertama kami ketika memasuki lobby hotel. Ya, tak ditemukan satupun staf di lobby hotel, jadinya kami harus berinisiatif mencari sambil sesekali memanggil siapapun yang ada di situ.

Singkat cerita, setelah mendapatkan kamar, selanjutnya adalah mencoba mengelilingi pusat Kota Daruba, yang kalau saya gambarkan, kita bisa mengelilingi kota Daruba seharian penuh dengan menggunakan bentor (becak motor) tanpa takut tersesat, karena memang skala kota Daruba yang terbilang tidak terlalu besar. 
Bentor (becak motor) adalah jenis transportasi roda tiga yang banyak ditemui di Morotai
Adapun lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Taman Kota, yang letaknya masih di pusat Kota Daruba, dengan posisi taman yang berada tepat di tepi pantai.

Jarak dari Hotel Pasifik In menuju Taman kota terbilang cukup dekat, hanya butuh sekitar 15 menit jalan kaki dan 5 menit menggunakan bentor (harga Rp. 5.000 /orang).

Dalam perjalanan ke sini kita akan melewati pusat Kota Daruba, dengan suasana kesibukan kota yang bisa dibilang belum terlalu ramai seperti kebanyakan pusat Ibu Kota Kabupaten pada umumnya.
Kawasan sekitar taman Kota Daruba
Taman Kota merupakan salah satu iconnya Kota Daruba. Selain karena lokasinya yang mudah dicari (berada di pinggir jalan utama). Tempat ini juga menjadi salah satu lokasi berkumpulnya warga sekitar, yang kebanyakan untuk menikmati matahari terbenam ataupun hanya duduk santai bersama para kawan.

Ditambah lagi, dengan posisi taman yang menghadap langsung ke laut, dan terdapat beberapa pondok kecil yang bisa dipakai santai sejenak, menjadi lokasi yang tepat untuk beristirahat melepas lelah.

Di Taman Kota, kita juga dapat menikmati wisata kuliner yang kebanyakan berbahan dasar ikan laut. Jadi, tanpa menungggu waktu yang lama, singgahlah kami di salah satu warung dekat situ untuk memesan lauk ikan bakar yang disandingkan dengan sambel mentah atau orang lokal menyebutnya dabu-dabu mantah.

Menu makan siang: ikan bakar dan sambel mentah
Segarnya ikan yang baru saja di beli dari  para nelayan yang  keluarnya di malam sebelumnya. Serta rasa sambel yang pedas, asam, bercampur sedikit manis sangat cukup membuat diri ini bensr-benar ketagihan. hahah..

oiya, selain ikan bakar plus sambel mentah, masih ada banyak lagi menu wisata kuliner berbahan ikan laut lainnya yang wajib dicobai. Yang jelas, lupakan diet sejenak ketika anda berkunjung  ke sini. heheh..

Sebagai informasi, harga tiap menu yang ditawarkan cukup mahal, apalagi untuk saya yang sudah enam tahun tinggal di Yogya yang terkenal dengan makanan yang serba murah, cukup membuat naluri kemiskinan saya terguncang. hahahh..

Tapi jika rasa yang anda cari, maka percayalah, tidak ada kata penyesalan setelahnya. 
Adapun kami waktu itu makan berlima, dengan total pengeluaran sekitar Rp. 500.000-an. Yang kalau di Yogya, saya bisa pakai buat traktir teman-teman kos di burjo untuk makan selama tiga hari tiga malam. hahahh

Oiya, untuk suasana sore hari, biasanya akan banyak ditemui para pedagang kaki lima yang menjual berbagai jajanan pasar di sepanjang jalan menuju kawasan Taman Kota. Dan rekomendasi menu yang bisa dicobai adalah sejenis minuman khas daerah, yang terbuat dari air jahe yang direbus denga gula merah, serta ditambahi susu dan kenari/kacang dan pisang goreng sebagai pelengkap,  siap menemani sore anda sambil menyaksikan matahari terbenam.

Setelah keinginan duniawi terpenuhi. Selanjutnya, tak jauh dari Taman Kota terdapat Pelabuhan Laut Daruba, yang menjadi jantung perekonomian Kota Daruba, karena dari sini biasanya berbagai kebutuhan di datangkan, baik dari Kota Tobelo ataupun dari Kota Manado Langsung.
Kondisi Pelabuhan Laut Daruba
Tujuan kami ke sini selain menikmati suasana sore Kota Daruba, adalah untuk mencari dan melakukan pemesanan speedboat, agar bisa kami sewa seharian penuh untuk mengelilingi beberapa pulau terdekat pada keesokan harinya.
Pelabuhan Speedboat Daruba
Konsep pengaturan pelabuhan sendiri dibagi menjadi dua, yang bagian kiri dari arah pintu masuk kawasan pelabuhan untuk transportasi laut berjenis kapal besar, dan samping kanan untuk transportasi laut berupa speedboat untuk layanan ke Kota Tobelo dan Ternate serta tujuan pulau-pulau kecil lainnya yang berada di sekitar Kabupaten Pulau Morotai.

Selama empat kali kunjungan ke Kabupaten Pulau Morotai, beruntung sekali dibeberapa kesempatan kami melewati berbagai macam objek wisata menarik yang sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Tiap lokasi memiliki karakteristiknya masing-masing, dan untuk Kota Daruba secara keseluruhan banyak terdapat objek wisata pantai yang mempesona untuk dijelajahi, sambil sesekali mendengar cerita sejarah di tiap lokasi yang kami kunjungi.

Museum Trikora

Museum yang satu ini berisi berbagai peninggalan bersejarah perang dunia II.  Nama dari museum Trikora sendiri merupakan akronim dari Tri Komando Rakyat, yang disuarakan oleh Sukarno pada 19 Desember 1961 di Alun-alun Yogyakarta dalam rangka membebaskan Irian Barat.
Desain bangunan bergaya modern, baik dari bentuknya maupun penggunaan material bangunan yang disesuaikan dengan tipe bangunan di pinggir pantai, serta dinding bangunan yang sebagian besar terbuat dari material kaca, sehingga pengunjung dari luar dapat melihat isi pameran dalam bangunan, dan memberikan pengalaman meruang yang unik untuk pengunjung di dalam bangunan, karena selain dapat menikmati isi pameran, juga secara langsung bisa melihat aktivitas di luar ruangan dengan suasana pantai yang tenang.
Suasana sekitar Museum Trikora
Museum Trikora sendiri letaknya di Desa Wawama, Kecamatan Morotai Selatan, dan berjarak 2 kilometer dari Kota Daruba. Serta posisi bangunan utama berada di bibir pantai, dan dilengkapi dengan ruang terbuka untuk beristirahat sambil menikmati suasana museum dengan angin pantai yang menyegarkan.

Selain itu, di bagian luar gedung, atau tepatnya di tenggah kawasan yang menjurus ke pantai  juga terdapat monumen Trikora, yang menggambarkan semangat juang para tentara Indonesia dalam mempertahankan NKRI pada saat perang dunia II
Monumen Trikora
Sayangnya, pada saat kami berkunjung ke sini, kondisi museum terlihat kurang terawat. Ini terlihat dari kondisi tampak bangunan yang kurang terjaga kebersihannya dan bagian interior bangunan seakan tidak perna dibersihkan, bahkan terdapat beberapa plafon bangunan yang terlihat mulai lepas.

Pantai Nunuhu

Waktu tempu dari Kota Daruba ke Pantai Nunuhu sekitar 60 menit (menggunakan mobil) dengan kondisi jalan utama yang sudah terbilang baik. Kondisi sepanjang jalan yang sepih dan rimbunnya pepohonan memberikan kesan tersendiri untuk dinikmati. 
Kondisi jalan menuju pantai
Untuk sampai di Pantai Nunuhu, kita juga akan melewati beberapa desa yang berjejer rapih di sepanjang jalan utama.

Tidak ada papan nama yang biasanya terpampang jelas dipintu masuk kawasan pariwisata, yang ada hanya signage kecil yang letaknya dipingir jalan. Jadi, ketika sudah memasuki Desa Bido (dari arah Daruba) yang adalah lokasi pantai Nunuhu. Saran saya untuk melambatkan kendaraan sambil sesekali memperhatikan signage kecil menuju pantai sehingga tidak kebablasan.

Adapun kondisi jalan menuju bibir pantai yang sedikit menanjak dengan kontur tanah yang tidak rata serta terlihat seperti hutan kecil, tapi tenang, kondisinya masih aman untuk dilalui kendaraan roda empat.
Suasana Pantai Nunuhu
Bentangan pasir putih nan bersih, serta rimbunnya pepohonan di sepanjang bibir pantai menjadi pemandangan biasa disini. Selain itu, walau masih jarang pengunjung tapi sudah terdapat beberapa warung kecil beratapkan terpal yang dengan ramah menawarkan segarnya buah kelapa muda untuk dinikmati sambil duduk santai di batang kayu berukuran besar, yang memang difungsikan sebagai tempat duduk pengunjung.
Suasana sekitar pantai
Selain beningnya air laut yang tenang, keunikan lain yang dimilik pantai ini adalah terdapat pulau kecil tepat di depan bibir pantai yang terlihat rimbun dengan pepohonan tinggi di atasnya, dan bisa disebrangi bahkan tanpa menggunakan perahu.

Dengan batas air pada waktu itu sekitar paha orang dewasa, atau jika air surut kita bahkan bisa berjalan tanpa takut celana menjadi basah. Tapi saran saya, tetap hati-hati. Karena airnya yang bening, saya beberapa kali sempat melihat bulu babi yang akan tidak terlihat cantik lagi kalau sudah tertusuk durinya.

Pantai Batulubang

Pantai Batulubang letaknya berada persis di pingir jalan utama, dengan karakteristik pantai berpasir putih, dan banyak ditumbuhi karang di sepanjang pantai, sehingga tidak direkomendasikan sebagai tempat untuk berenang. 


Suasana sekitar Pantai Batulubang dari atas batu karang

Suasana pantai yang sepih bisa dijadikan alasan untuk beristirahat sejenak. Adapun saya yang langsung tertarik ketika melihat salah satu batu karang yang tingginya sekitar 7 meter tepat di depan pintu masuk kawasan pantai.

Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, serta rasa antusias yang cukup tinggi, sayapun tanpa ragu berusaha menuju puncak batu karang yang di sekitarnya sudah ditumbuhi oleh berbagai tumbuhan pantai yang rimbun.
Suasana sekitar Pantai Batulubang dari atas batu karang
Air laut yang tenang dan jernih, serta hambusan angin laut yang menyegarkan, ditambah lagi, jika melihat ke arah bawah kita akan melihat segerombolan ikan kecil yang dengan lincahnya berenang bebas menuju bibir pantai, yang memang penuh dengan terumbuh karang yang jelas terlihat seakan belum perna disentuh tangan-tangan nakal.

Setelah puas merasakan suasana pantai dari atas batu karang, hal mengejutkan lain yang saya temukan selanjutnya adalah keberadaan gua kecil yang berada tepat dibawah batu karang yang saya naiki sebelumnya.
Suasana dalam gua
Pukulan arus ombak yang kecil dan tenang seakan berusaha masuk ke dalam gua. Ditambah lagi, dengan adanya refleksi air yang dipantulkan ke diding gua akibat terkena sinar matahari dari luar, yang perlahan menembus lubang gua memberikan kesan tersendiri untuk dinikmati.
Jika pencahayaanya bagus, aksen warna pink di dinding gua akan semakin kelihatan kontras
Belum lagi refleksi pantulan air dan sinar matahari yang kadang memberikan kesan warna pink pada dinding gua membuat siapapun yang memasuki gua ini akan terhenti sejenak tuk sekedar menikmati suasana yang tenang ini.


Tanjung Dehegila

Tanjung yang satu ini berada di Selatan Pulau Daruba, untuk menuju kesana kita bisa menggunakan mobil ataupun sepeda motor, untuk kami pada waktu itu lebih memilih menggunakan motor, yang karena keramahan dan kebaikan beberapa teman mahasiswi yang sebelumnya telah ikut membantu kami dalam kegiatan penelitian, dan dengan sangat baik mau meminjamkan sepeda motor serta mengantar kami mengunjugi Tanjung Dehegila.
Suasana sekitar Tanjung Dehegila
Terdapat banyak bebatuan koral yang terlihat kuat dan sedikit dalam serta runcing memenuhi sepanjang garis pantai. Jadi, bisa dikatakan ini bukan lokasi alternatif yang baik untuk melakukan aktivitas berenang, tapi hanya sekedar menikmati suasana pantai yang berbeda dengan kebanyakan pantai lainnya, tempat ini bisa dijadikan salah satu rekomendasi yang wajib dikunjungi.

Dengan dipenuhi bebatuan koral yang berwarna warni, serta keberadaan pohon-pohon besar yang tampak sangat tua, menjadi ciri khas Tanjung Dehegila.

Tak jauh dari Tanjung Dehegila, atau lebih tepatnya ketika kami memutuskan untuk segera balik ke pusat Kota Daruba. Di tengah perjalanan, kami melewati sejenis padang rumput yang cukup memukau untuk disinggahi sejenak.
Ya, kumpulan alang-alang bercampur tumbuhan liar lainnya yang tumbuh rapih di sepanjang jalan, yang sesekali terkena hembusan angin sepoi-sepoi seakan antusias menyapa kami.

Ditambah lagi, warna kuning keemasan rerumputan yang setinggi paha orang dewasa, ikut menggoda kami tuk sekedar mampir menikmati pemandangan dan mendokumentasikannya dalam bentuk JPG. 

Pantai Sagolo

Pantai Sogolo berada tidak jauh dari Tanjung Dehegila, untuk sampai ke sini kami memilih rute yang cukup seru. Yaitu melewati beberapa lahan perkebunan kelapa,  dengan kondisi jalan perkebunan yang jelas belum beraspal, sehingga sesekali kami harus menghindari kontur tanah yang tidak rata serta jalan yang mulai di penuhi rerumputan liar berwarna kuning kecoklatan.
Kondisi jalan menuju Pantai Sagolo


Kondisi bibir pantai yang bersih dan berpasir putih serta sesekali terdengar pukulan ombak yang tenang seakan dengan ramah menyambut kedatangan kami. Belum lagi, rimbunnya pepohonan di sepanjang garis pantai memberikan alasan untuk kami bisa berdiam diri sejenak di sini.
Suasana Pantai Sagolo
Pantai Army Dock

Ketika sampai di pantai ini, sejenak saya langsung berpikir untuk membandingkan dengan Tanjung Dehegila. Ada kemiripan antara keduanya, yaitu keduanya terbalut karang dengan nada warna yang sama. Hanya saja, di pantai ini masih lebih banyak di dominasi oleh pasir putih, bedahalnya dengan di Dehegila yang sebagian besar dipenuhi oleh karang yang menjoros ke arah daratan.
Dan kelebihan lainnya adalah, disini kita bisa melakukan aktivitas berenang, karena permukaan air laut yg jarang ditemui batu karang seperti yang ada di Pantai Dehegila.
Kondisi Pantai Army Dock
Selain itu, Pantai Army Dock sendiri menyimpan cerita sejarah perang dunia II. Dimana pada tahun 1944 – 1945 pantai ini perna menjadi pusat aktivitas militer, administrasi, dan medis. Disini juga menjadi lokasi pertama pendaratan tentara perang sekutu Amerika yang membawa berbagai amunisi untuk menyerang tentara Jepang pada waktu itu.

Untuk sampai di sini kita hanya butuh waktu sekitar 15 menit perjalanan dari pusat Kota Daruba. Alternatif kendaraan selain sepeda motor, kita juga bisa menggunakan Bentor (becak motor) dengan biaya Rp. 5000/orang.

Seperti kebanyakan pantai di Kabupaten Pulau Morotai, tidak ada biaya masuk. Jadi, silahkan datang kapan saja. 
Salah satu sudut pantai Army Dock yang dulunya dijadikan pelabuhan
Ada lokasi menarik yang kami temukan ketika sampai  di sini, yaitu melihat bekas pelabuhan yang hancur. Yang konon katanya dulu dari tepi pantai ini, sekutu perna membangun jembatan apung menuju Pulau Zum-Zum MacArthur yang berada di seberang Morotai.

Oiya, jika ingin menikmati senja sore di Kota Daruba, pantai ini bisa menjadi salah satu alternatif untuk menyaksikan matahari terbenam. 

Sebenarnya masih banyak lagi lokasi wisata lain yang tersebar dibeberapa titik Kota Daruba, baik yang sudah kami singgahi maupun belum, tapi karena keterbatasan informasi dan minimnya fasilitas yang ada di sana, membuat saya enggan untuk mereviewnya, karena memang waktu itu hanya sekedar mampir sesaat, sehingga minim dokumentasi dan cerita terkait situasi sekitarnya.

Terdapat juga beberapa lokasi alternatif lain yang dapat dikunjungi ketika berada di Kabupaten Pulau Morotai. Seperti wisata Pulau Dodola, Pulau Kolorai, dan Pulau Zum-zum yang lokasinya tidak jauh dari pusat Kota Daruba.

Yang jelas, Morotai dan Daruba sebagai Kota kecilnya saat ini sedang berusaha untuk terus memperkenalkan diri, baik terkait keindahan panorama alamnya ataupun budaya masyarakat serta sejarahnya kepada masyarakat Nasional maupun Internasional.

Adapun informasi yang saya dapatkan, untuk saat ini sudah ada beberapa investor asing yang mulai tertarik menanamkan modal dalam bentuk pengembangan pariwisata. 
Seperti Negara Australia, Jepang, Korea, Cina serta Jerman yang perlahan mulai menunjukan ketertarikannya untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan kemajuan Kabupaten Pulau Morotai.

Ya, apapun hasilnya nanti. Intinya, kita  semua berharap semoga masyarakatlah yang paling di untungkan dalam proses pengembangannya, sehingga kesejaterahan warga lokal semakin meningkat.