21 Apr 2019

Waktu menunjukan sekitar pukul 07.10 ketika pesawat benar-benar landing di Bandara Sultan Babulla Ternate. Dengan sedikit rasa ngantuk yang tersisa karena sebelumnya harus transit di Bandara Hasanudin Makassar selama kurang lebih  enam jam, baru kemudian pada pukul 03.30 melanjutkan penerbangan ke kota Ternate dengan tujuan utama ke Kabupaten Pulau Morotai.


Gambar udara Pulau Ternate
Ya, Morotai lagi. Daerah ini memang paling sering saya kunjungi selama tahun 2017, sekitar empat kali kunjungan yang diwarnai dengan berbagai drama perjalanan yang kalau di artikelkan semua seakan tak akan habis jalan ceritanya. 

Mulai dari delay berjam-jam (perna lebih dari 7 jam dongggg), perubahan tujuan transit yang tiba-tiba, dibawah keliling ke kalimantan yang harusnya ke Sulawesi sampai perna diminta turun dari pesawat oleh pramugari dengan alasan ada perubahan tujuan transit jadi saya (seorang diri) diminta turun untuk menunggu pesawat lain yang datangnya baru 2.5 jam kemudian. Belum lagi yang baru landing jam 2 pagi karena delay dan diantarkan ke  hotel terdekat, tapi kemudian dibangunkan oleh pihak maskapai pukul 05.30 untuk melanjutkan penerbangan jam 07.00. Begitula cerita singkat dibalik “indahnya” perjalanan bolak balik Yogyakarta – Morotai.

Baik, kembali ke Ternate. Perlu diketahui Bandara Sultan Babulla merupakan salah satu jantungnya penerbangan di Kepulauan Halmahera. Kenapa demikian?, ya karena hampir semua maskapai penerbangan ketika ingin menurunka penumpangnya untuk disebar ke sebagian besar wilayah di Kepulauan Halmahera akan transit disini terlebih dahulu baru melanjutkan penerbangan, alasannya selain karena memaksimalkan jumlah penumpang yang tidak terlalu banyak juga karena harus bertukar pesawat yang lebih kecil khususnya untuk tujuan daerah yang memiliki keterbatasan infrastruktur tranportasi udara.

Sembari menunggu beberapa rekan kerja yang akan datang dari Jakarta, sayapun coba untuk meng-googling beberapa lokasi wisata yang ada disekitar bandara Ternate, karena menggingat kita harus menunggu sekitar enam jam lagi untuk melanjutkan penerbangan ke Pulau Morotai.

Tak lama berselang, datanglah beberapa rekan dari Jakarta dan bergabung dengan kami. Dan ternyata mereka juga punya pemikiran yang sama. “kemana kita akan menghabiskan waktu sembari menunggu jadwal penerbangan selanjutnya?”. 
Demikian tanya salah seorang rekan yang baru saja sampai, yang spondan memancing percakapan yang berakhir dengan melakukan pemesanan mobil melalui kenalan salah seorang rekan yang juga sudah beberapa kali berkunjung ke Ternate dan mendampingi kamu menjelajahi beberapa lokasi wisata di sekitar kota Ternate dalam kurung waktu 5 jam.

Sebagai informasih berdasarkan pengalaman, bagi yang membawa bagasi dan tidak mau repot membawanya kemana-mana pada saat mengunjungi beberapa tempat di dekat bandara, saran saya bisa dititipkan ke petugas bandara setempat,  yang biasa berdiri di counter beberapa maskapai dekat ruang pengambilam barang (catatan: bukan bagian resmi  dari sistem pelayanan bandara ya) dengan memberi "ucapan trimakasih seiklasnya". 
Tapi ingat, pastikan tidak ada barang berharga lainnya yang anda titipkan sebelum berangkat, demi menjaga keamana dan kenyaman bersama.

Benteng Tolukko

Lokasi pertama yang kita putuskan untuk dikunjungi. Ya, benteng Tolukko yang merupakan salah satu benteng dari sekian banyaknya benteng di Pulau Ternate. 
Alasan kenapa kita memilih kesini ya karena jaraknya yang relatif paling dekat dari bandara ataupun pusat kota, yakni sekitar 3 Km dari pusat kota.

Suasana Benteng Tolukko
Kesan tua dan koko terlihat jelas dari penampakan bangunan yang merupakan peninggalan bangsa portugis dari tahun 1540 ketika menjajah Negeri yang kaya akan rempah-rempah ini.

Selain itu, material bangunan yang menurut informasi dibuat dari batu karang dan pecahan bata dengan campuran kapur, serta pasir sebagai perekatnya menambah kesan akan umur bangunan yang memang bukan baru lagi.
View bagian kanan benteng
Adapun aktivitas yang dapat dilakukan disini selain menyusuri tiap sudut bangunan sembari mengangumi keindahan dan ciri khas arsitektur masa lampau, kita juga bisa menikmati luasnya laut Ternate dari atas benteng dengan background pengunungan Halmahera.
Dan di sisi bagian kanan bawah benteng, berjejer perumahan warga dengan nuansa warna warni, sehingga cukup menghidupkan suasana benteng.  
Ditambah lagi di bagian kiri benteng tak jarang ikut menampilkan proses menjelang landing pesawat terbang yang masuk menuju Pulau Ternate.
Pemandangan benteng menghadap pengunungan Halmahera
Untuk harga tiketnya sendiri, ketika kami masuk tidak terlihat pengelola ataupun penjaga, sehingga hanya uang sukarelah yang kami titipkan ke rumah warga yang berada tepat di depan bangunan benteng, yang mana kami pakai untuk parkir mobil sebelumnya

Setelah puas befoto dan menikmati suasana benteng yang sepi pengunjung ini, kamipun  melanjutkan perjalanan ke lokasi selanjutnya yang juga tidak jauh dari sini

Batu Angus

“Apakah ini semacam kumpulan bebatuan yang dihaguskan atau bagaimana maksudnya?”. Begitu pertanyaan tak berkelas saya ketika mendengar nama Batu angus yang spontan disebutkan oleh babang supir yang masih setia mengantar kami ke lokasi selanjutnya.

Setibanya di sana, atau tepatnya di Jl. Lain (iya, disini ada jalan yang namanya “jalan lain”, jadi tolong disederhanakan saja cara berpikirnya biar gk kemana-mana) yang berjarak 10 Km dari pusat kota Ternate.
Kawasan Batu Angus
Sekedar informasi, Batu angus ini berupa hamparan batu yang berwarna hitam kelam seperti baru hagus terbakar, yang membentang dari kaki Gunung Gamalama akibat sisa lahar letusan pada abad ke-17. Demikian informasi yang saya dapat dari hasil googling setiba di sini.

Pemandangan hitam kelam ternyata tak semuanya menghasilkan keburukan. Ya, demikian kesekian kesan saya ketika menjajaki tiap sudut Batu Angus di antara tanaman berwarna kecoklatan, karena mulai terlihat layu akibat berusaha tumbuh di bukan pada tempatnya.

Suasana sekitar Batu Angus
Adapun beberpa gazebo yang bisa dipakai berteduh atau santai sejenak untuk menikmati kawasan Batu Angus, yang mana berbatasan langsung dengan laut Ternate, serta pemandangan pengunungan yang jauh di sana menambah daya tarik tersendiri untuk dinikmati ketika teriknya matahari mulai terasa tak bersahabat lagi.

Untuk tiket masuk kawasan, pada waktu itu si gratisss, kurang tahu juga ya kalau sekarang bagaimana kelanjutan ceritanya. Yang jelas waktu masuk memang tidak terlihat loket atau sejenisnya yang biasa terpampang jelas di sekitaran kawasan wisata.
satu jam lagi disini, sayapun akan ikutan hangus
Intinya ya, bersyukur karena sudah dua lokasi yang kita datangi tidak ada aturan “harus” membayar atau sejenisnya, tapi saran saja, dimanapun objek wisata yang kita kunjungi dan ada orang yang kelihatannya punya kontribusi dalam menjaga atau memelihara lingkungan sekitar (tukang parkir misalnya) ya monggo pengertiannya. hitung-hitung menghargai usaha orangkan ya.

Hemat cerita dan waktu, kamipun melanjutkan perjalan ke lokasi terdekat lainnya yang katanya punya banyak cerita mistis tapi menarik untuk dikunjungi.

Danau Tolire 

Masih di bawa kaki Gunung Gamala yang merupakan gunung tertinggi di Maluku Utara ini, kamipun memutuskan untuk singah di salah satu danau populer di kota Ternate. Yakni Danau Tolire. 
Jika dua lokasi sebelumnya masih diseputaran kawasan perkotaan maka yang satu ini agak sedikit masuk ke areah yang jarang penduduk, karena sepanjang perjalanan saya agak kurang melihat keramaian penduduk lokal disepanjang jalan.
Suasana kawasn danau Tolire
Singkat cerita, sampailah kami di depan pintu masuk kawasan yang sedikit menanjak naik ke atas menuju bibir danau, yang menurut saya kok sedikit ekstrim ya. 
Masalahnya disepanjang bibir danau yang begitu curam kalau sampai terpeleset karena terlalu antusias misalnya, maka berakhirlah cerita bahagia kita hari  ini. Hiks..

Sebagai informasi, danau Tolire sendiri terbagi menjadi dua, yakni Tolire besar dan Tolire kecil, yang jarak antar keduanya sekitar 200 meter.
Sedangkan Tolire yang kami datangi sekarang adalah Tolire besar dengan bentuknya yang mirip loyang besar dimana posisi danau berada ditengah kedalaman lubang raksasa setinggi 50 meter, dan untuk kedalam air danaunya sendiri belum diketahui secara pasti, sedangkan luasan danau sekitar 5 hektare.
Jeprett.. otw minimal 5 meter dari bibir danau
Yang jelas, hijaunya warna danau dan lebatnya pepohonan disekeliling, serta adanya kehadiran buaya yang sedang aktif berenang dibawah sana, membuat saya semakin menjaga jarak dengan bibir danau yang sekarang terlihat lebih menakutkan untuk orang seperti saya yang “sedikt agak kurang nyaman dengan hal yang menyangkut ketinggian” heheh..

Cerita menarik lainnya, konon dibawah sana, ya, tepatnya 50 meter dibawah kaki saya berdiri terdapat banyak siluman buaya (kalau buayanya si  saya lihat sendiri memang ada, Cuma kalau soal siluman ya, biarkan semua orang berpikir sesuai dengan keyakinannya masing-masing). Intinnya saya menikmati pemandanganya, tapi tidak dengan imajinasi liar saya selama disini. Hahah..

Singkat cerita, waktu sudah menunjukan pukul 09.30 waktu setempat, yang artinya tiga jam lagi adalah waktu penerbangan lanjutan ke Pulau Morotai, akhirnya kami memutuskan untuk mengakiri cerita di danau yang penuh kesan ini, dan melajutkan ke tujuan yang juga tidak jauh dari sini, sekitar 25 menit waktu perjalanan.

Pantai Kastela

Pantai berpasir hitam ini jaraknya memang sedikit lebih jauh dari pusat kota, sekitar 45 menit waku tempu dalam kondisi jalan norma alias tanpa macet. 
Kondisi pantainya juga cenderung sepih pengunjung, yang berdasarkan informasi yang saya googling ketika sampai dilokasi memang akan lebih ramai ketika menjelang sore, karena disini merupakan salah  satu lokasi  terbaik untuk menikmati suasana sunset di bibir pantai yang juga dekat dengan beberapa benteng peninggalan bangsa Portugis, seperti benteng Nostra Senhora de Rosario yang berarti wanita cantik berkalung bunga mawar (saking panjang dan susah nama bentengnya saya harus searching lagi ketika sedang menulis artikel ini), serta benteng Gamlamo.
Suasana pantai Kastela
Disini kita akan menikmati pemandangan laut yang indah sambil berteduh dibawah rindangnya pepohonan yang tingginya ada yang mencapai 30 – 40 meter, sambil sesekali diterpa angin sepoi-sepoi menambah kesegaran nuansa pantai yang cocok untuk dipakai bersantai sesaat, baru kemudian melanjutkan perjalanan menuju Bandara Sultan Babulla Ternate.

Sekian perjalanan singkat, mengelilingi sebagian sudut kota Ternate sambil menunggu jadwal penerbangan selanjutnya, yang mana bisa dijadikan opsi lain ketika sedang  jenuh menunggu kedatangan pesawat yang baru datang 1.5 jam kemudian.

Ya, semoga suatu saat bisa kembali lagi ke sini dan diberi kesempatan untuk menjelajahi sisi lain kota Ternate yang penuh dengan cerita mistis dan masih kental dengan kehidupan adat kesultanannya ini.
Otw Pulau Morotai

20 Apr 2019


Tiket sudah dipesankan, semua barang sudah di packing rapih dalam ransel tambahan hasil pinjaman ke teman kos sebelah. Tiba-tiba terpikir, apa yang bisa dilakuan selama satu kali dua puluh empat jam di Manado?, Ya, Tujuan kali ini adalah ke kota yang dikelilingi oleh daerah pengunungan dan terkenal dengan ekowisatanya, serta Pulau Bunaken yang merupakan primadona pariwisata Provinsi Sulawesi Utara ini menjadi tujuan transit sehari, sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan utama yaitu Kabupaten Pulau Morotai.

Pukul 06.55 waktu setempat perjalanan dari Yogyakarta ke  Manado pun dimulai. Dengan transit terlebih dahulu di kota Makassar, baru kemudian melanjutkan perjalan ke Manado, yang mana waktu kedatangan di Bandara Samratulangi Manado pada puku 15.00 waktu setempat,
Bandara Samratulagi Manado
Adapun hal pertama yang dilakukan setelah memastikan semua barang dan bagasi terkumpul dengan aman adalah memesan taksi bandara menuju hotel dengan waktu tempu sekitar 35 menit. Dengan harga pada waktu itu sekitar Rp. 65.000
Setibanya di hotel pada pukul 16.30 dan proses reservasi kamar hotel selesai, maka selanjutnyanya adalah mengistirahatkan diri sejenak sambil menikmati secangkir kopi yang memang selalu menjadi ciri khas semua hotel untuk menyediakan secara gratis bagi para tamunya.
Adapun suasana Whiz Prime Hotel Megamas yang memiliki kamar cukup luas dengan pemandangan yang jujur saja diluar dugaan. dengan harga permalam untuk tipe kamar Whiz Twin kisaran Rp. 350.000 sampai Rp. 400.000 / malam (bisa lebih murah kalau ada promo), yang diisi untuk dua orang, sehingga lebih murah jika pakai sistem patungan antar kawan.
Suasana sunset melalui jendela kamar hotel
Ketika memasuki kamar di lantai 4, Warna merah nun orange keemasan seolah menyambut ramah setiap tamu hotel ketika sore tiba. Yupz... Sunset! Tepat di depan jendela kamar saya. Karena kebetulan kamarnya menghadap ke barat dan sekitar 10 meter didepannya terbentang luas pantai yang secara langsung ikut menciptakan refleksi antara tenangnya air laut dengan pesona langit senja, cukup untuk membuat saya termenung sesaat, sambil menikmati momen yang jarang ini.

Jejeran warung makan depan hotel
Adapun depan hotel terdapat banyak warung makanan khas masakan Manado yang wajib dicoba. Rasa lelah karena perjalanan membuat saya memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil menikmati secangkir kopi gratis layanan hotel dan diwarnai momen detik-detik matahari terbenam yang membuat enggan untuk beranjak dari nyamannya kasur yang berada tepat di samping jendela kamar dengan arah menghadap ke laut. 

Pemandangan dari lantai 11 bangunan hotel

Tidak hanya itu, bangunan hotel yang terdiri dari 11 lantai ini juga mampu menampilkan sebagian kota Manado dari ketinggian, yang membuat penghuni hotel lebih memilih untuk beristirahat dikamarnya masing-masing tuk melepas lelah.
Waktu menunjukan sekitar pukul 17.45. Makan malam. Sejenak terlintas di benak saya. Baiklah, mungkin saat yang tepat menjajaki kawasan pantai megamas manado untuk sekedar berwisata kuliner yang lokasinya berjejer rapi di depan hotel dan tak sabar disinggahi.

Pesan lauk bumbu RW

Tibalah kami di salah satu warung yang letaknya berada persis di dekat jalan, dimana samping bangunan berbatasan langsung dengan bibir pantai yang tenang dan tak bergelombang.
Selanjutnya, ada hal yang ganjil, dan membuat saya cukup kaget setela mengetahui bahwa salah satu rekan saya  telah memesan lauk dengan bumbu RW, itu karena dia seorang muslim. Sebagai infromasi, bagi yang belum tahu RW itu sejenis makan berbahan daging anjing dan banyak terdapat di kota Manado yang mayoritas adalah non muslim. 

Karena penasaran dan tanpa maksud menyingung perasan rekan tapi berusaha meluruskan situasi yang membingungkan ini akhirnya saya mencoba untuk bertanya. “Mas, tau gk apa itu RW”. Tanya saya. “memangnya apa itu”. Fix.. dia memang perlu diberikan sosialisasi singkat terkait makan yang satu ini. Singkat cerita, rekan saya paham!.
Karena sudah terlanjur memesan akhirnya kami tunggu pesanannya datang. Too, pikir saya dari kami juga ada yang non muslim, jadi bisa dimakan juga sama yang lain (By the way, walaupun saya kristen, namun haram hukumnya untuk makan daging anjing, jadi mending dipesankan ind*mie goreng pakai telur atau sekedar nasi pakai kacang telur sasetan yang banyak dijual di pinggir jalan daripada disuruh makan RW).


Dan datanglah pesanan lauk dengan bumbu RW itu, akhirnya saya mengupas rasa penasaran saya dan bertanya. “Mas, ini bumbu RW maksudnya pakai daging anjing begitu atau gimana?”. Tanya saya. “Oh, nggak mas. Ini daging ayam yang dimasak pakai racikan khusus untuk masakan RW”. Jawabnya spontan. Hmhm... salah paham saya.
Intinya, ketika datang ke Manado dan anda punya pantangan makanan untuk berbagai jenis “makanan haram” berdasarkan kepercayaan anda masinh-masing, maka saran saya, bijak dan hati-hatilah dalam berwisata kuliner disini. Karena kota Manado terkenal sebagai salah satu kota yang punya wisata kuliner terekstrim di Indonesia, atau mungkin juga benua Asia? atau benua-benua lainnya?. Aa... entalah, Saya juga belum punya data khusus terkait itu.
Sebagai informasi, di Manado selain daging anjing yang banyak dikonsumsi ada juga daging ular, kucing, tikus yang masih lengkap dengan ekor-ekornya, katak, kelelawar, monyet, biawak dan berbagai menu tak lazim lainnya yang bisa anda temui di dua pasar tradisional kota Manado ini yaitu pasar Beriman Tomohon dan Pasar Langowan. Yang sayangnya saya belum mendapat kesempatan untuk sekedar melihat langsung suasana pasarnya, namun informasi ini saya dapatkan dari salah satau teman yang tinggal dan besar di Manado.
Dan tiba-tiba terpikir dibenak saya, ini kok rasanya kaya perpaduan antara wisata kuliner dan kebun binatan versi santapan ya?. Hmhm... ini kenapa ada gurauwan terkenal orang Manado yang percaya “Kalau adam dan hawa orang manado, manusia pasti tak akan jatuh dalam dosa. Ya iyalah, orang waktu didatangi ular dan ditawari buah pengetahuan, bukan buahnya yang dimakan tapi ularnya yang disantap!”.haha..
Hal lain yang bisa dilakukan setelah itu adalah mengunjungi beberapa pusat perbelanjaan terdekat, entah hanya sebatas “cuci mata” ataupun mencari keperluan lainnya yang kira-kira diperlukan, baru kemudian melanjutkan perjalana keesokan harinya menuju Kabupaten Pulau Morotai
Suasana depan hotel
Adapun suasana pagi yang cukup berkesan ketika dibangunkan oleh alarm handphone pukul lima pagi sekedar mempersiapkan diri untuk perjalanan selanjutnya, yaitu menikmati paginya kota Manado diantara tenang dan dinginya suasana hotel di dekat pantai. Sambil sesekali mendokumentasikannya dalam bentuk JPG.

Jembatan DR.Ir.Soekarno, Manado
Ketika jalan menuju Bandara Samratulangi Manado menggunakan transportasi online dengan waktu tempu sekitar 45 menit dengan harga Rp. 60.000 sekali jalan, kita akan melewati salah satu icon kota Manado yang ketika terakhir kali saya datang kesini tahun 2013 lalu masih dalam proses pembangunan dan sekarang telah berdiri megah dengan nuansa warna kuning keemasan serta retetan tali baja yang mengikat kuat beban jembatan serta perpaduan pengunungan di belakang jembatan meninggalkan kesan tersendiri bagi siapapun yang melewatinya dalam suasana sepi dan dinginnya pagi kota Manado. 


Next Trip, Kepulauan Morotai..



 Bersambung dulu ya...

19 Apr 2019

Matahari masih enggan menampakan diri ketika saya dan beberapa teman dibangunkan oleh alarm di rumah singgah di Wonosobo, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Dataran Tinggi Dieng.

Ya, ini adalah pengalaman pertama saya yang selalu bermimpi ke negeri yang identik dengan kehidupan warga desanya yang hidup di atas ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut, tak heran jika banyak orang menyebutnya sebagai negeri di atas awan, dengan suhu dibawah 10˚C ketika malam dan 10˚C sampai 20˚C ketika siang. Sehingga tak heran ketika malam tiba cukup membuat kami menggigil.

Sekitar pukul 03.30 alarm kami berbunyi saling berbalas-balasan yang artinya memang lagi pada kompak untuk bangun pagi dengan misi menyaksikan sunrise  di salah satu bukit yang ada di sekitar Kabupaten Wonosobo. 

Dingin yang rasanya menusuk adalah kesan pertama saya ketika tiba di sini, terutama ketika menyentuh air kran (otomatis gk mandi pagi donggg). Demikian deskripsi awal ketika dibangunkan alarm yang terdengar lebih semangat dalam menyambut dinginnya Wonosobo dibandingkan kami. Dan sejam kemudian perjalananpun dimulai, menuju lokasi yang ada dalam daftar  5 lokasi yang wajib dikunjungi!.

Sunrise di bukit tak bernama

Perjalananpun dilakukan ketika sebagian penduduk kota masih terlelap dalam dinginnya Kota yang masih jauh dari hirup pikuk aktvitas perkotaan ini, adapun kami yang semakin antusias melewati dinginnya jalan menuju salah satu bukit yang maaf saja saya sendiri kok jadi lupa dengan namanya ya, heheh.. #maafkan

Adapun kondisi Jalan menuju bukit yang ternyata tidak semulus seperti yang kami bayangkan, karena harus melewati beberapa perkebunan warga dengan jalan setapak yang terkesan apa adanya, serta dalam kondisi yang gelap. Belum lagi beberapa kali kita harus melewati jalan dengan kontur bebatuan yang membuat rombongan kami tetap terjaga dari rasa ngantuknya, yang terkesan belum siap lepas dari nyenyaknya kenikmatan kasur di kota yang tenang dan dingin itu.

Singkat cerita, sampailah di tujuan. 
Dengan suhu dibawah 10 ˚C, ditambah basahnya rerumputan yang sebagian tingginya mencapai betis orang dewasa, serta tebalnya embun pagi semakin menambah dinginnya suasana pagi yang benar-benar membuat saya merindukan hangatnya selimut tebal di kos-kosan saya.  
 

And then.. it's just beautiful.. semuanya terbayar lunas ketika sang mentari perlahan menyapa kami di antara putihnya awan serta garis pengungunan yang terlihat seirama  satu sama lain, bersamaan kompak menyapa kami yang terlihat mulai jatuh hati dengan momen pagi ini.



Foto di atas adalah usaha kami dengan berbagai pose, mencoba merangkai kata dalam gerakan tubuh yang benar-benar terlihat gagal dan berakhir pasra dengan gaya mengankat tanggan tanda menyerah tuk mencobanya lagi dan lagi...

Kawah Sikidang

Belum habis euforia kami dengan suasana sunrise yang penuh kesan, perjalanpun kami lanjutkan kembali. Sekitar 30 menit kemudian tepatnya pukul 07.00 waktu setempat kamipun tiba di lokasi selanjutnya yang juga tak kalah menarik, Kawah Sikidang!.



Kawah  Sikidang. Yang menurut warga lokal, yaitu kata sikidang berarti kijang yang suka berpindah dan melompat kesana kemari, yang kemudian menjadi alasan saya untuk mencari tahu maksud dari pernyataan tersebut dan berakhir googling  di internet, Kesimpulannya, kawah ini rata-rata berpindah tempat setiap empat tahun sekali. Dan informasi inipun saya jadikan bekal untuk menjajaki tiap sudut kawah sambil mencari tahu, sudah kemana saja kawah-kawah ini berkelana. 



Kesimpulannya: saya makin tak paham. Khusunya mengenai bukti perpindahan kawah yang dimaksud bagian mana saja. Heheh.. Mungkin karena kurangnya inisiatif untuk bertanya, dan ditambah lagi karena kebanyakan orang yang kesini hampir semunya juga baru pertama kali jadi otomatis ikut bingung menjawab pertanyaan saya, Belum lagi, kurangnya informasi terkait hal tersebut, baik melalui penyediaan papan informasi ataupun keberadaan pengelola kawasan yang minim. Jadinya makin membuat diri ini bingungan sendiri. Intinya saya tetap menikmati tiap momen ketika berada disini. 

Selain itu, ada pemandangan lain yang menarik perhatian saya, yaitu melihat aktivitas para pengunjung lainnya yang dengan antusias merebus telur di sekitar kawasan kawah, yang katanya hanya butuh waktu kurang lebih 15 menit untuk membuat telur benar-benar matang. Tapi sayang, tak ada satupun dari kami yang selalu membawa telur kemanapun dia pergi, jadi secara praktek kami gagal membuktikan atas teori tersebut, bahkan sekedar ikut berpartisipasi saja tidak. Mungkin lain kali..




Oh iya, Cuma mengingatkan walau kawah ini adalah tujuan favorit banyak wisatawan, kawasan kawahnya masih sangat aktif, jadi tetaplah stay cool dijalur yang sudah disediakan batas geraknya.
Adapun di bagian bibir kawah kita dapat melihat aktifitas vulkanik berupa semburan lumpur dan asap dari kawah, yang pada pengalaman saya lebih banyak lihat asapnya karena engan untuk berlama-lama di dekat sini. Harap maklum, saya belum siap memberikan pesan dan kesan ke semua teman seperjuangan saya.. #lupakan



Satu lagi yang perlu diingat, karena bau asap yang cukup menyegat, maka sediakanlah masker sebelum kesini, kecuali indra penciuman anda cukup tahan mengabaikan aroma khas vulkanik aktif. Untuk tiket masuknya sendiri waktu itu sekitar Rp. 15.000  diluar tiket parkir kendaraan.
Dan untuk yang jalan sedikit langsung lapar. Tenang, ketika memasuki kawasan kawah kita akan disambut oleh beberapa penjual yang selalu sigap menawarkan julannya, baik berupa cendramata ataupun berbagai makanan yang siap mengisi perut yang kosong. Adapun saya yang memutuskan pesan ind*mie rebus pakai telur ceplok setengah matang sehabis menjajaki kawasan kawah Sikidang #nikmat
 

Telaga Warna

Selanjutnya, masih dengan aroma khas kawah Sikidang yang melekat di jaket para petualang yang akan saya beri nama “group hore” ini, kamipun melanjutkan ke salah satu telaga yang sesuai dengan namanya, yaitu suka bergonta-ganti warna, yakni warna hijau, kuning, ataupun berwarna warni layaknya pelangi. Sekedar infromasi: fenomena ini terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi, sehingga saat sinar matahari mengenainya, maka warna air telaga akan tampak warna warni, demikianlah info yang saya dapatkan dari hasil googling sebelum kesini.

And then, we already here! Dengan suasana ramai pengunjung dimana kita perlu jalan kaki sekitar 30 meter dari pintu masuk kawasn untuk melihat kilauan telaga dari jauh. Tapi sayang, ekspetasi melihat pelangi dalam bentuk telaga tidak terpenuhi. Yaa.. mungkin karena pengaruh asap dan uap vulkanik tadi membuat imajinasi saya sedikit berlebihan... Tapi tenang saja, air telaganya masih tetap berwana kok, dan selama warnanya bukan coklat maka ekspetasi saya akan baik-baik saja.




 

Adapun suasana sekitar telaga warna, Rimbunnya pepohonan yang tingginya bisa mencapai  20–30 meter diatas permukaan tanah pastinya. Serta keberadaan bukit-bukit tinggi yang mengelilingi telaga menambah pesona akan keindahan sekitar kawasan. Ditambah lagi harmoni alam dengan udara yang saya sendiri juga bingung mendiskripsikannya, antara sejuk apa kedinginan turut serta memikat setiap pengunjung yang dengan santai menelusuri tiap sudut kawasan yang penuh dengan rindangnya pepohonan disepanjang jalan.


By the way, kita juga akan menemukan beberapa gua di sekitar sini yang juga ikut menyumbang suasana mistis buat yang suka menyimpan imajinasi liar yang tak sopan itu, ditambah lagi suasana goa yang jarang pengunjung nun sepi dan disempurnakan oleh hawa dingin dan pepohonan rindang yang diterpa angin sepoi-sepoi cukup membuat bulu kuduk merinding jika sambil membayangkan adengan pertelevisian yang sukanya keluar dimalam hari sambil senyum mengoda untuk siapapun yang melewati depan "rumahnya". Aaa.. sudahlah, hentikan imajinasi bodoh ini. #lupakan
Intinya, enjoy the moment.  Apalagi kalau kesini bareng orang tersayang. Hmhm... silahkan dideskripsikan sesuai dengan imajinasinya masing-masing!

 

Dieng Plateau Theater

“Nah, harusnya ini tempat pertama yang kita kungjungi jika baru pertama kali datang ke Dieng”. Ucap saya dalam hati. Ya, tempat ini adalah yang “harusnya” didatangi para wisatawan ketika pertama kali ke sini, kerena disini kita akan menyaksikan sebuah film tentang Dataran Tinggi Dieng, mulai dari sejarah, kehidupan sosial dan budaya masyarakat lokal ataupun kondisi geografi kawasan secara keseluruan, yang tentu bisa dijadikan referensi sebelum menjelajahi kawasan wisata Dieng. 

Tapi sayang, karena lokasinya yang sedikit sulit dijangkau dan jauh dari pintu masuk kawasan wisata Dieng maka agak kurang realistis menurut saya ketika baru sampai di kawasan Dataran Tinggi Dieng dan langsung kesini, yang mana akan melewati beberapa objek wisata dalam perjalanan kesini, itu kalau memang tempat ini dimasukan dalam urutan nomor satu terkait daftar lokasi yang wajib dikunjungi.
Singkat cerita, dipenuhilah kepala kami dengan berbagai informasi menarik yang disampaikan secara visual lewat video berdurasi sekita 20 menit, yang ketika ditanya lagi esok harinya saya bahkan belum tentu akan mengingat minimal 50% di antarnya. Heheh..

Satu lagi, diarea ini biasanya banyak dilewati oleh anak-anak berambut gimbal, yang dipercaya oleh masyaraat Dieng semakin banyak keberadaan mereka maka akan semakin sejaterah kehidupan masyarakatnya ataupun sebaliknya. sayangnya saya enggan untuk memotret salah satunya, karena ada yang menggatakan "agak kurang tepat" memotret keberadaan mereka yang biasanya hasilnya tidak bagus. Yaaa.. saya si berusaha menghargai kepercayaan setempat, yang walaupun saya foto belum tentu hasil jepretannya  akan bagus, makanya dilarang. (pada gk mau di foto mungkin sama saya)

Candi Arjuna



Candi Arjuna merupakan salah satu candi tertua di antara candi lainnya di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Adapun luas candi berdasarkan informasi di papan informasi yakni seluas 90 hektar. Tapi sayang, ketika kami sampai disini hanya sebagian kecil candi yang sudah selesai direstorasi.
Adapun para pengujung yang datang kesini kebanyakan anak muda yang hanya sekedar santai menikmati suasana sejuknya kawasan candi sambil duduk bercengkrama di hijaunya rerumputan kompleks candi. 



Dan sayangnya lagi, disekitar candi terdapat kebun strawberry yang ketika kami datang bukan waktu yang tepat untuk sekedar memetik dan mencicipi asam-manisnya buah yang memang banyak ditanam di kawasan dataran tinggi seperti ini, dan karena memang belum musimnya, gimana donggg?. 
Singkat cerita, suasana kompleks candi yang tidak seramai candi borobudur dan sejuknya udara sekitar kawasan candi serta terdapat beberapa spot foto menarik untuk diabadikan, memberikan kesan tersendiri  untuk kami yang dengan santai beristirahat sejenak sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan untuk mengisi kekosongan perut yang rasanya sudah agak susah ditoleransi menjelang pukul 13.00 waktu setempat.

Demikianlah kisa kasih petualangan “group hore” kami dalam menjajaki pesona Daratan Tinggi Dieng yang tak akan perna habis untuk diceritakan dengan berbagai lokasi lainnya yang memang masih sangat perlu untuk dijelajahi lebih dalam lagi.
Semoga... suatu saat bisa kesini lagi dan kembali dengan cerita menarik lainnya #theand