18 Apr 2019

Tiga Kali Diguncang Gempa 7 SR Dalam Satu Hari Dibawa Kaki Gunung Rinjani


Siang yang tenang, dengan aktivitas kantor seperti biasanya. Tiba-tiba diundang untuk mengikuti rapat terkait bencana gempa bumi Lombok. Singkat cerita saya salah satu yang diminta untuk segera berangkat ke Lombok sebagai tim terkait tugas penanganan pasca gempa bumi di Lombok.

Tepatnya sehari sebelum perayaaan hari kemerdekaan NKRI yaitu pada tanggal 16 Agustus 2018 saya dan rombongan dari Yogyakarta menuju Lombok dengan jadwal penerbangan pukul 17.40 WIB dengan waktu penerbangan sekitar 1.5 jam, namun karena alasan delay maka otomatis penerbangan kami tertunda dan sampai di Lombok baru menjelang tengah malam. Keesokan paginya kami dibagi dalam beberapa tim, saya dan beberapa rekan diminta untuk menelusuri Lombok bagian utara dengan tugas awal untuk memverifikasi kerusakan bangunan dimana mayoritas tingkat kerusakan berat dan jumlah korban terbanyak berada di sana. 

Dua hari penungasan semuanya berjalan lancar dengan aktivitas yang sama yaitu pagi jam 07.00 berangkat verifikasi lokasi di beberapa kecamatan dan kabupaten, kemudian langsung dilanjutkan dengan rapat koordinasi antar instansi yang berakhir bisa  sampai tengah malam bahkan tak jarang bisa sampai dini hari, dan begitu seterusnya aktivitas keseharian kami selama penugasan di Lombok. 
Selanjutnya saya mendapat tugas untuk mendampingi salah satu pejabat senior kantor kami untuk melakukan verifikasi dan pendataan terkait lokasi pembangunan rumah contoh tahan gempa di Lombok Timur. Dan dari sinilah perjalan tentang “kegempaan” saya dimulai.
  

Gempa 6.5 SR

Tepat tanggal 19 agustus saya diminta untuk mendampingi salah satu pejabat senior yang tidak lain adalah atasan saya di kantor untuk melakukan verifikasi di kawasan Lombok Timur. Perjalanan dimulai pada pukul 7.00 pagi, untuk menuju kesana diperlukan waktu sekitar 2 jam dalam keadaan normal. Sekitar pukul 10.00 kami sampai di labuhan Lombok tepatnya di salah satu pasar tradisional Kabupaten Lombok Timur. Disaat yang bersamaan tiba-tiba mobil kami terhenti secara paksa diikuti dengan pemandangan beberapa kendaraan di depan kami khusunya kendaraan roda dua yang semuanya terbanting jatuh ke jalan, adapun bangunan warung di samping mobil kami yang sebagian atapnya sudah mulai runtuh dengan posisi bangunan warung mulai miring ke arah mobil, dan posisi mobil terasa diguncang sehingga rasanya sedikit sulit untuk tetap tenang di kursi belakang. Saya pribadi yang duduk dibelakang supir bingung dengan kejanggalan tersebut, ditambah lagi semua orang yang berada di sekitaran pasar berlari berhamburan keluar bangunan dengan histeris berteriak kesana kemari sambil memeluk orang-orang terdekatnya. 

Sesaat saya baru sadar ketika supir kami berteriak GEMPA! ya, gempa dengan kekuatan 6.5 SR dengan pusat gempa berada di Lombok Timur tepat dimana kami berada saat itu. Suasana masih mencekam, beberapa orang masih terlihat panik dan takut untuk mendekat ke bangun terdekat. Saya pribadi tetap  berusaha untuk tetap tenang, tapi sejujurnya ini pengalaman pertama saya merasakan gempa sekuat itu. Merinding? Pasti! But of course  demi pencitraan saya tetap pasang wajah stay cool tapi dalam hati, percayalah you know what i feel!. Hahahh...

Berdasarkan arahan atasan saya, perjalanan tetap dilanjutkan “Ini adalah tugas negara, bagaimanpun situasinya kita tetap melanjutkan perjalanan” begitulah arahan beliau. Yang sebelumnya di anjurkan oleh supir kami untuk menghentikan perjalanan dan kembali ke kota Mataram secepatnya, yang mana dianggap sebagai wilayah teraman pada saat itu karena jarang diguncang gempa.
  

Gempa 5.5 SR


Pukul 04.30 sore waktu setempat kami tiba di Desa Madayin, yang mana masih di wilayah Lombok timur, kunjungan pertama adalah kantor desa Madayin, situasi sepanjang jalan sudah dipenuhi dengan warna warni tenda pengungsian, menambah kesan antara ketenangan dan ketegangan suasana desa. Setibanya di Desa Madayin kami langsung menuju  kantor desa setempat. Baru saja turun dari mobil dan menyapa bapak sekretaris desa yang berdiri tepat di depan tenda desa yang didirikan di depan kantor desa tiba-tiba semua orang berhamburan keluar bangunan sambil berlalu mencari lahan kosong yang jauh dari bangunan. Adapun saya yang dengan sigap ikut berpartisipasi dalam kepanikan warga walau setelahnya di nasehati oleh atasanya saya “Do, kita orang yang dianggap lebih paham situasi, jadi ketika terjadi gempa cobala untuk tetap bersikap tenang”. Demikian kata beliau dengan wajah tenang dan berusaha mengerti. “Baiklah bapak, akan saya coba” balas saya sambil becanda, berusahan membuat situasi menjadi lebih tenang dan santai.


Adapun supir kami, yang secara tegas sekali lagi menyarankan untuk segera kembali ke Mataram setelah gempa dengan kekuatan 5.5 SR mengguncang Desa Madayin, dan seperti biasanya, atasan saya menolak. Masih tetap dengan komitmen beliau “ini adalah tugas negara, bagaimanpun situasinya kita tetap melanjutkan perjalanan”.


Menginap di hotel standar bintang 4 tanpa plafon seutuhnya


Bangunan Utama Menuju Lobby Hotel
Masih dihari yang sama, Kabupaten yang sama dengan waktu yang menunjukan sekitar pukul 19.08 waktu setempat, kami tiba di salah satu hotel yang berlokasi dekat dengan kaki gunung rinjani. Ada hal menarik nun kocak tapi juga menegangkan yang saya alami berikutnya. Setibanya di lobby hotel dengan konsep cottage dimana bangunan utama terpisah dengan kamar tamu yang semuanya  terbuat dari material kayu yang sudah dikemas dengan bentuk dan desain yang modern., kami disapa oleh petugas hotel. “selamat malam mas, ada yang bisa saya bantu?” sambut satu-satunya petugas hotel yang nampak dan masih bertahan di lokasi hotel. “oiya mas, saya mau pesan kamar untuk bertiga, apakah masih ada kamar kosong?", timpa saya. “oiya mas, semuanya memang lagi kosong, tapi apa mas yakin mau nginap di sini?" petugas resepsionis kembali bertanya. “iya mas, ada apa emang?". Timpa saya lagi. “baiklah mas, kalau begitu saya cek dulu kamar mana yang plafonya masih utuh”. Kata petugasnya sambil senyum kebingungan. Sesaat saya speechless.  terdiam, antara pengen ketawa atau ngomong balik “niat buka hotel gk si mas?”. Sebelum melanjutkan percakapan, saya balik menyampaikan situasinya hotel ke atasan saya, dan beliau tetap ingin memesan kamar karena butuh colokan listrik serta ruangan untuk melanjutkan pekerjaan.

Gempa 7 SR


Singkat cerita, saya  diajak oleh petugas resepsionis untuk ikut memeriksa kondisi kamar yang “plafonnya benar-benar masih utuh”. Maka dapatlah 2 kamar dengan kondisi struktur bangunan yang terlihat masih sangat baik dan posisi kamar berada sekitar 100 meter dari bangunan utama, yang artinya kamar kami berada paling ujung dalam kawasan hotel. Hiksss..

Adapun supir kami, dengan alasan keamanan dan khawatir serta mungkin sedikit “ngambek” karena kami menolak untuk balik Matram memutuskan untuk tidur di mobil. Saya sendiri?, demi alasan totalitas dalam bertugas mendampingi atasan yang padahal kalau mau ikut kata hati lebih memilih tidur di parkiran terpaksa memutuskan untuk memesan satu kamar lagi yang jaraknya 3 bangunan dari cottage atasan saya, alias mendekati ujung kawasan hotel. 

Suasana Hotel Ketika Pertama Kali Tiba

Pukul 20.30 atau setengah 11 malam ketika saya baru saja ingin menyentuh kasur hotel setelah mengerjakan laporan harian tiba-tiba suara besar berupa gemuru genteng, plafon, atap, dan seluruh dinding dan lantai bangunan ikut bergetar serta disaat yang bersamaan seluruh lampu dalam kawasan hotel ikut padam. Dalam dinginnya suhu Gunung Rinjani yang menyentu dibawah 10 derajat celcius sayapun dengan sigap mencari gagang pintu kamar hotel dalam suasana kamar yang gelap dan panik sambil berusaha melindungi kepala saya dengan tanggan agar terlindung dari jatunya plafon cottage, akhirnya berhasil keluar dari dalam kamar dan berdiri tepat sekitar 4 meter dari bangunan cottage, dan dalam keadaan bingung tanpa bisa kemana-mana karena tepat di depan kamar saya terbentang kolam renang sepanjang mata memandang mengikuti pola linear penataan keseluruhan cottage  yang pada saat itu ikut bergelombang mengikuti pola gempa pada saat kejadian yang nampak seperti gelombang laut menghantam tiap batas sisi-sisi kolam. Ditambah lagi suara reruntuhan bangunan utama dan patahnya tangki air yang posisinya berada tepat dibelakang kamar saya membuat seluruh bulu kuduk saya merinding. Diam dalam malam, gelap dan sendiri, yang terdengar hanya gemuruh reruntuhan bangunan sembari bingung apa yang harus dilakukan. Guncangan gempa berlangsung sekitar 3 menit dan berhenti sejenak kemudian bergetar lagi dengan kekuatan yang sama yaitu menurut BMKG kekuatan gempa 7 SR dengan pusat gempa di darat dengan lokasi gempa di Lombok Timur dimana kami berada saat itu.
Kolam Renang Depan cottage

Dalam suasana gelap dan dinginya suhu gunung rinjani saya berusaha untuk terus berjalan menuju kamar atasan saya yang dari jauh terlihat sudah berada tepat di depan kamar beliau, kemudian memutuskan untuk menuju lokasi parkir kawasan hotel. Beruntung material dan kondisi bangunan yang terbuat dari papan dan kayu membuat konstruksi bangunan lebih kuat dan tahan gempa daripada bangunan konvensional lainnya sehingga walau diguncang gempa dengan skala besar bangunan cottage mampu bertahan dalam kondisi yang demikian. setelah keadaan sedikit lebih tenang kamipun memutuskan untuk bergabung dengan tim relawan terdekat dan menghabiskan malam dengan tidur di dalam mobil sambil merasakan gempa susulan yang terus  berlansung hingga pagi dengan intensitas antara 7 SR, 6.5 SR dan 5.3 SR dan terus diikuti oleh beberapa gempa susulan sampai keesokan paginya, sebelum akhirnya kami putuskan untuk benar-benar meninggalkan Lombok Timur dan bergabung dengan tim posko utama di Kota Mataram.


Kondisi Kerusakan Bangunan cottage pasca gempa bumi 7 SR
Setibanya di Mataram, kami disambut dengan berbagai pertanyaan dan cerita oleh tim di Mataram terkait gempa malam itu yang juga terasa sampai ke Kota Mataram yang membuat semua tim ikut berlari berhamburan keluar hotel untuk menyelamatkan diri.


Gempa Lombok, adalah pengalaman pertama saya terkait peristiwa gempa bumi yang jelas sulit untuk dilupakan. Kedepannya, harapan saya dengan adanya gerakan "Lombok Bangkit Kembali" oleh pmerintah pusat maupun daerah semoga dapat menjadi bekal bagi masyarakat Lombok untuk tetap optimis dan tabah dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi baik dalam aspek pembangunan infrastruktur maupun kehidupan sosial masyarakatnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar