19 Apr 2019

Dataran Tinggi Dieng, Menikmati Dinginnya Negeri di Atas Awan

Matahari masih enggan menampakan diri ketika saya dan beberapa teman dibangunkan oleh alarm di rumah singgah di Wonosobo, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Dataran Tinggi Dieng.

Ya, ini adalah pengalaman pertama saya yang selalu bermimpi ke negeri yang identik dengan kehidupan warga desanya yang hidup di atas ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut, tak heran jika banyak orang menyebutnya sebagai negeri di atas awan, dengan suhu dibawah 10˚C ketika malam dan 10˚C sampai 20˚C ketika siang. Sehingga tak heran ketika malam tiba cukup membuat kami menggigil.

Sekitar pukul 03.30 alarm kami berbunyi saling berbalas-balasan yang artinya memang lagi pada kompak untuk bangun pagi dengan misi menyaksikan sunrise  di salah satu bukit yang ada di sekitar Kabupaten Wonosobo. 

Dingin yang rasanya menusuk adalah kesan pertama saya ketika tiba di sini, terutama ketika menyentuh air kran (otomatis gk mandi pagi donggg). Demikian deskripsi awal ketika dibangunkan alarm yang terdengar lebih semangat dalam menyambut dinginnya Wonosobo dibandingkan kami. Dan sejam kemudian perjalananpun dimulai, menuju lokasi yang ada dalam daftar  5 lokasi yang wajib dikunjungi!.

Sunrise di bukit tak bernama

Perjalananpun dilakukan ketika sebagian penduduk kota masih terlelap dalam dinginnya Kota yang masih jauh dari hirup pikuk aktvitas perkotaan ini, adapun kami yang semakin antusias melewati dinginnya jalan menuju salah satu bukit yang maaf saja saya sendiri kok jadi lupa dengan namanya ya, heheh.. #maafkan

Adapun kondisi Jalan menuju bukit yang ternyata tidak semulus seperti yang kami bayangkan, karena harus melewati beberapa perkebunan warga dengan jalan setapak yang terkesan apa adanya, serta dalam kondisi yang gelap. Belum lagi beberapa kali kita harus melewati jalan dengan kontur bebatuan yang membuat rombongan kami tetap terjaga dari rasa ngantuknya, yang terkesan belum siap lepas dari nyenyaknya kenikmatan kasur di kota yang tenang dan dingin itu.

Singkat cerita, sampailah di tujuan. 
Dengan suhu dibawah 10 ˚C, ditambah basahnya rerumputan yang sebagian tingginya mencapai betis orang dewasa, serta tebalnya embun pagi semakin menambah dinginnya suasana pagi yang benar-benar membuat saya merindukan hangatnya selimut tebal di kos-kosan saya.  
 

And then.. it's just beautiful.. semuanya terbayar lunas ketika sang mentari perlahan menyapa kami di antara putihnya awan serta garis pengungunan yang terlihat seirama  satu sama lain, bersamaan kompak menyapa kami yang terlihat mulai jatuh hati dengan momen pagi ini.



Foto di atas adalah usaha kami dengan berbagai pose, mencoba merangkai kata dalam gerakan tubuh yang benar-benar terlihat gagal dan berakhir pasra dengan gaya mengankat tanggan tanda menyerah tuk mencobanya lagi dan lagi...

Kawah Sikidang

Belum habis euforia kami dengan suasana sunrise yang penuh kesan, perjalanpun kami lanjutkan kembali. Sekitar 30 menit kemudian tepatnya pukul 07.00 waktu setempat kamipun tiba di lokasi selanjutnya yang juga tak kalah menarik, Kawah Sikidang!.



Kawah  Sikidang. Yang menurut warga lokal, yaitu kata sikidang berarti kijang yang suka berpindah dan melompat kesana kemari, yang kemudian menjadi alasan saya untuk mencari tahu maksud dari pernyataan tersebut dan berakhir googling  di internet, Kesimpulannya, kawah ini rata-rata berpindah tempat setiap empat tahun sekali. Dan informasi inipun saya jadikan bekal untuk menjajaki tiap sudut kawah sambil mencari tahu, sudah kemana saja kawah-kawah ini berkelana. 



Kesimpulannya: saya makin tak paham. Khusunya mengenai bukti perpindahan kawah yang dimaksud bagian mana saja. Heheh.. Mungkin karena kurangnya inisiatif untuk bertanya, dan ditambah lagi karena kebanyakan orang yang kesini hampir semunya juga baru pertama kali jadi otomatis ikut bingung menjawab pertanyaan saya, Belum lagi, kurangnya informasi terkait hal tersebut, baik melalui penyediaan papan informasi ataupun keberadaan pengelola kawasan yang minim. Jadinya makin membuat diri ini bingungan sendiri. Intinya saya tetap menikmati tiap momen ketika berada disini. 

Selain itu, ada pemandangan lain yang menarik perhatian saya, yaitu melihat aktivitas para pengunjung lainnya yang dengan antusias merebus telur di sekitar kawasan kawah, yang katanya hanya butuh waktu kurang lebih 15 menit untuk membuat telur benar-benar matang. Tapi sayang, tak ada satupun dari kami yang selalu membawa telur kemanapun dia pergi, jadi secara praktek kami gagal membuktikan atas teori tersebut, bahkan sekedar ikut berpartisipasi saja tidak. Mungkin lain kali..




Oh iya, Cuma mengingatkan walau kawah ini adalah tujuan favorit banyak wisatawan, kawasan kawahnya masih sangat aktif, jadi tetaplah stay cool dijalur yang sudah disediakan batas geraknya.
Adapun di bagian bibir kawah kita dapat melihat aktifitas vulkanik berupa semburan lumpur dan asap dari kawah, yang pada pengalaman saya lebih banyak lihat asapnya karena engan untuk berlama-lama di dekat sini. Harap maklum, saya belum siap memberikan pesan dan kesan ke semua teman seperjuangan saya.. #lupakan



Satu lagi yang perlu diingat, karena bau asap yang cukup menyegat, maka sediakanlah masker sebelum kesini, kecuali indra penciuman anda cukup tahan mengabaikan aroma khas vulkanik aktif. Untuk tiket masuknya sendiri waktu itu sekitar Rp. 15.000  diluar tiket parkir kendaraan.
Dan untuk yang jalan sedikit langsung lapar. Tenang, ketika memasuki kawasan kawah kita akan disambut oleh beberapa penjual yang selalu sigap menawarkan julannya, baik berupa cendramata ataupun berbagai makanan yang siap mengisi perut yang kosong. Adapun saya yang memutuskan pesan ind*mie rebus pakai telur ceplok setengah matang sehabis menjajaki kawasan kawah Sikidang #nikmat
 

Telaga Warna

Selanjutnya, masih dengan aroma khas kawah Sikidang yang melekat di jaket para petualang yang akan saya beri nama “group hore” ini, kamipun melanjutkan ke salah satu telaga yang sesuai dengan namanya, yaitu suka bergonta-ganti warna, yakni warna hijau, kuning, ataupun berwarna warni layaknya pelangi. Sekedar infromasi: fenomena ini terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi, sehingga saat sinar matahari mengenainya, maka warna air telaga akan tampak warna warni, demikianlah info yang saya dapatkan dari hasil googling sebelum kesini.

And then, we already here! Dengan suasana ramai pengunjung dimana kita perlu jalan kaki sekitar 30 meter dari pintu masuk kawasn untuk melihat kilauan telaga dari jauh. Tapi sayang, ekspetasi melihat pelangi dalam bentuk telaga tidak terpenuhi. Yaa.. mungkin karena pengaruh asap dan uap vulkanik tadi membuat imajinasi saya sedikit berlebihan... Tapi tenang saja, air telaganya masih tetap berwana kok, dan selama warnanya bukan coklat maka ekspetasi saya akan baik-baik saja.




 

Adapun suasana sekitar telaga warna, Rimbunnya pepohonan yang tingginya bisa mencapai  20–30 meter diatas permukaan tanah pastinya. Serta keberadaan bukit-bukit tinggi yang mengelilingi telaga menambah pesona akan keindahan sekitar kawasan. Ditambah lagi harmoni alam dengan udara yang saya sendiri juga bingung mendiskripsikannya, antara sejuk apa kedinginan turut serta memikat setiap pengunjung yang dengan santai menelusuri tiap sudut kawasan yang penuh dengan rindangnya pepohonan disepanjang jalan.


By the way, kita juga akan menemukan beberapa gua di sekitar sini yang juga ikut menyumbang suasana mistis buat yang suka menyimpan imajinasi liar yang tak sopan itu, ditambah lagi suasana goa yang jarang pengunjung nun sepi dan disempurnakan oleh hawa dingin dan pepohonan rindang yang diterpa angin sepoi-sepoi cukup membuat bulu kuduk merinding jika sambil membayangkan adengan pertelevisian yang sukanya keluar dimalam hari sambil senyum mengoda untuk siapapun yang melewati depan "rumahnya". Aaa.. sudahlah, hentikan imajinasi bodoh ini. #lupakan
Intinya, enjoy the moment.  Apalagi kalau kesini bareng orang tersayang. Hmhm... silahkan dideskripsikan sesuai dengan imajinasinya masing-masing!

 

Dieng Plateau Theater

“Nah, harusnya ini tempat pertama yang kita kungjungi jika baru pertama kali datang ke Dieng”. Ucap saya dalam hati. Ya, tempat ini adalah yang “harusnya” didatangi para wisatawan ketika pertama kali ke sini, kerena disini kita akan menyaksikan sebuah film tentang Dataran Tinggi Dieng, mulai dari sejarah, kehidupan sosial dan budaya masyarakat lokal ataupun kondisi geografi kawasan secara keseluruan, yang tentu bisa dijadikan referensi sebelum menjelajahi kawasan wisata Dieng. 

Tapi sayang, karena lokasinya yang sedikit sulit dijangkau dan jauh dari pintu masuk kawasan wisata Dieng maka agak kurang realistis menurut saya ketika baru sampai di kawasan Dataran Tinggi Dieng dan langsung kesini, yang mana akan melewati beberapa objek wisata dalam perjalanan kesini, itu kalau memang tempat ini dimasukan dalam urutan nomor satu terkait daftar lokasi yang wajib dikunjungi.
Singkat cerita, dipenuhilah kepala kami dengan berbagai informasi menarik yang disampaikan secara visual lewat video berdurasi sekita 20 menit, yang ketika ditanya lagi esok harinya saya bahkan belum tentu akan mengingat minimal 50% di antarnya. Heheh..

Satu lagi, diarea ini biasanya banyak dilewati oleh anak-anak berambut gimbal, yang dipercaya oleh masyaraat Dieng semakin banyak keberadaan mereka maka akan semakin sejaterah kehidupan masyarakatnya ataupun sebaliknya. sayangnya saya enggan untuk memotret salah satunya, karena ada yang menggatakan "agak kurang tepat" memotret keberadaan mereka yang biasanya hasilnya tidak bagus. Yaaa.. saya si berusaha menghargai kepercayaan setempat, yang walaupun saya foto belum tentu hasil jepretannya  akan bagus, makanya dilarang. (pada gk mau di foto mungkin sama saya)

Candi Arjuna



Candi Arjuna merupakan salah satu candi tertua di antara candi lainnya di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Adapun luas candi berdasarkan informasi di papan informasi yakni seluas 90 hektar. Tapi sayang, ketika kami sampai disini hanya sebagian kecil candi yang sudah selesai direstorasi.
Adapun para pengujung yang datang kesini kebanyakan anak muda yang hanya sekedar santai menikmati suasana sejuknya kawasan candi sambil duduk bercengkrama di hijaunya rerumputan kompleks candi. 



Dan sayangnya lagi, disekitar candi terdapat kebun strawberry yang ketika kami datang bukan waktu yang tepat untuk sekedar memetik dan mencicipi asam-manisnya buah yang memang banyak ditanam di kawasan dataran tinggi seperti ini, dan karena memang belum musimnya, gimana donggg?. 
Singkat cerita, suasana kompleks candi yang tidak seramai candi borobudur dan sejuknya udara sekitar kawasan candi serta terdapat beberapa spot foto menarik untuk diabadikan, memberikan kesan tersendiri  untuk kami yang dengan santai beristirahat sejenak sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan untuk mengisi kekosongan perut yang rasanya sudah agak susah ditoleransi menjelang pukul 13.00 waktu setempat.

Demikianlah kisa kasih petualangan “group hore” kami dalam menjajaki pesona Daratan Tinggi Dieng yang tak akan perna habis untuk diceritakan dengan berbagai lokasi lainnya yang memang masih sangat perlu untuk dijelajahi lebih dalam lagi.
Semoga... suatu saat bisa kesini lagi dan kembali dengan cerita menarik lainnya #theand 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar